Senin, 08 November 2010
Minggu, 29 Agustus 2010
Minggu, 15 Agustus 2010
Kamis, 12 Agustus 2010
Rabu, 11 Agustus 2010
Minggu, 08 Agustus 2010
Trend Digital Printing
“ PRINT ON DEMAND “
Menghapus Kutukan 3.000 Eksemplar
Dahulu, setiap kali akan menerbitkan buku, penerbit harus mencetak paling tidak 3.000 eksemplar untuk menghemat ongkos cetak. Kini, dengan kemajuan teknologi print on demand, ongkos cetak bisa dihemat dan jumlah eksemplar bisa dipenuhi sesuai permintaan.
Oleh UMI KULSUM
Dengan teknologi konvensional, untuk mencetak buku dalam jumlah kecil ongkos cetak akan tetap sangat mahal karena proses percetakan ofset yang panjang menghabiskan biaya yang cukup besar. Setelah buku tercetak, persoalan yang dihadapi penerbit masih panjang, yaitu penjualan dan tentu saja gudang penyimpanan buku. Jika buku tersebut cepat terserap pasar maupun best seller , penerbit cukup mencetak ulang tanpa memikirkan penyimpanannya. Namun, kalau buku tersebut lambat penjualannya, apa lagi tidak laku, persoalan panjang membelit penerbit. Menumpuknya stok buku di gudang bisa berarti modal belum kembali atau turn over -nya lambat, ditambah lagi penerbit harus mengeluarkan biaya penyimpanan dengan resiko buku rusak, baik oleh suhu maupun serangga. Lambatnya kembali ongkos cetak hingga persoalan gudang buku adalah persoalan yang dihadapi setiap penerbit.
Namun, kini penerbit tidak perlu lagi mengalami persoalan tersebut setelah hadirnya teknologi digital yang dikenal dengan sebutan print on demand (POD), yaitu percetakan dengan teknologi digital atau cetak tanpa pelat. Ringkasnya seperti seseorang yang mempunyai data dalam bentuk digital, kemudian dicetak begitu saja. Dengan POD, orang dapat mencetak buku sedikit mungkin, meski hanya satu buku saja, sesuatu yang mustahil dilakukan dengan percetakan ofset. Dalam percetakan ofset orang membutuhkan waktu paling tidak tiga hari untuk membuat film dan pelat cetakan buku tersebut, apalagi jika ada yang salah dengan redaksionalnya, maka harus dibuat film dan pelat yang baru. Dalam sistem POD, cukup mengedit datanya saja.
Edhi Warsadhi, Direktur Percetakan Kanisius, menjelaskan bahwa dalam proses percetakan ofset ada banyak hal yang harus dilewati : mulai dari film, pelat cetakan, memilah hasil cetakan, merapikan halaman, melipat, menjilid, dan kontrol akhir. Sebaliknya, dengan POD, data dari file komputer langsung dicetak seperti cetak komputer biasa, dengan halaman yang sudah berurutan, berikut sampul bukunya.
Seandainya buku hendak dicetak 1.000 eksemplar, maka jauh lebih murah menggunakan POD. Edhi mengilustrasikan dengan buku ukuran 20 x 27 cm dengan tebal 360 halaman, jika dicetak 500 eksemplar dengan ofset, maka satu buku menghabiskan biaya sekitar Rp 35.000 dan dengan POD hanya Rp 28.000. Sebaliknya, jika mencetak 2.000 eksemplar, offset lebih murah sekitar Rp 4.000 dibandingkan POD. Jika jumlah yang dicetak di atas 3.000 eksemplar, lebih efektif menggunakan ofset biasa karena selain terlalu mahal jika menggunakan POD, prosesnya juga memakan waktu lama.
Kemudahan teknologi POD inilah yang telah digunakan oleh beberapa penerbit di Indonesia . Equinox Publishing Indonesia adalah penerbit yang diketahui turut mempelopori menerbitkan buku Indonesia dalam bahasa Inggris ini sangat menyadari pentingnya cetak cepat dalam jumlah sedikit. Itu disebabkan buku-buku yang diterbitkannya adalah buku yang penjualannya lambat tetapi isinya sangat menarik dan baik sehingga permintaan buku-buku Equinox terus berjalan meskipun sedikit. Maka, sejak dua tahun yang lalu penerbit yang memiliki kantor pusat di Singapura ini melakukan POD untuk sebagian besar buku terbitan mereka. Seperti diungkapkan oleh Manajer Editor sekaligus pemilik Equinox, Mark Hanusz, dia langsung menerbitkan bukunya dengan POD begitu teknologi ini hadir karena Mark sangat menyadari buku-buku yang diterbitkan Equinox bukanlah buku pop atau akademis yang cepat laku dipasar.
Teknologi POD juga telah dimanfaatkan oleh penerbit Kanisius, Yogyakarta , selama dua tahun terakhir, dan diikuti oleh Gramedia Percetakan yang kini telah memiliki mesin POD sendiri.
Mempermudah cetak ulang
Saat ini, menerbitkan buku-buku backlist , yaitu cetak ulang yang oplahnya lambat, tidak lagi menghantui pikiran penerbit. Siti Gretiani, Manajer Produksi Nonfiksi Gramedia Pustaka Utama (GPU), mengungkapkan bahwa POD sangat membantu penerbit untuk mencetak ulang buku-buku yang lambat penjualannya tetapi masih dicari orang. Dia mencontohkan untuk buku-buku sastra yang penjualannya di bawah seratus kopi setiap bulannya cukup dicetak ulang sebanyak 500 eksemplar dan langsung dikirim ke toko buku. “Kami tidak perlu memikirkan gudang untuk penyimpanannya,” ujar Gretiani. Maka, sejak Gramedia Percetakan memiliki mesin POD sendiri, penerbit GPU menggunakan teknologi ini untuk buku-buku backlist atau buku cetak ulang.
Mencetak dengan POD juga banyak dilakukan oleh penerbit kecil di Yogyakarta yang tidak mempu menerbitkan buku dalam jumlah besar. Selain karena biaya besar, juga resiko buku tidak laku atau lambat terserap pasar adalah persoalan serius bagi penerbit kecil. Dengan demikian, penerbit tersebut biasanya mencetak bukunya di percetakan Kanisius yang telah memiliki dua POD dan satu alat scan buku.
Kecepatan POD juga sangat membantu penerbit untuk mempromosikan bukunya, seperti yang dilakukan penerbit LKiS yang mencetak buku dengan POD di percetakan Kanisius. LKiS berencana menerbitkan buku berjudul Dosa-dosa Pemerintahan SBY yang peleuncurannya 15 Desember. Untuk itu, LKiS segera mencetak 50 eksemplar hanya untuk acara peluncuran dan diskusi buku tersebut. Setelah itu, baru akan dicetak 2.000 eksemplar dengan offset. “Karena kami mengejar waktu, kalau ofset tidak mungkin hanya cetak sedikit , mahal ongkosnya,” ujar Ahmad Fikri, Direktur LKiS. Hal yang sama juga sering dilakukan oleh GPU. Agar buku dikenal luas dan cepat, untuk mempromosikan buku tersebut biasanya dicetak sedikit saja dengan POD. “Setelah itu kami lihat reaksi pasar. Kalau responsnya bagus, kami akan cetak banyak.” Ucap Gretiani.
Cetak jarak jauh
Keunggulan lain dengan POD adalah penerbit dapat melakukan cetak jarak jauh untuk mempermudah pemasaran atau menghemat ongkos pengiriman dan mempercepat sampainya buku di lokasi pembeli. Penjualan buku Equinox hanya 60 persennya saja di Indonesia , selebihnya dipasarkan di Asia , Eropa, dan Amerika. Untuk mempromosikan buku-bukunya ke seluruh dunia, menurut Mark, pengiriman fisik buku melalui kurir akan sangat merepotkan. Mark mencontohkan jika pemesan bukunya berada di Amerika, dia cukup mengirimkan format digital bukunya melalui e-mail ke percetakan POD di North Carolina, dan dengan ongkos kirim 2 dollar AS, buku itu akan sampai ke pembeli dengan cepat. Sayangnya, jika pengiriman buku dilakukan dari Indonesia , akan menghabiskan ongkos 30 dollar AS karena proses kepabeanan yang rumit. “Jika pemesan bukunya di Italia, saya cetak bukunya di Inggris,” ucap Mark. Meski Equinox memiliki kantor pusat di Singapura, percetakan dan pengiriman buku untuk pasar Singapura tetap dilakukan dari Indonesia . Ini disebabkan jarak yang cukup dekat dengan jasa kurir yang cukup mudah antara Indonesia ke Singapura.
Sebaliknya, bagi Kanisius yang memiliki percetakan POD, justru tawaran mencetak buku impor di Indonesia sudah lama dilakukannya. Percetakan Kanisius telah menerima tawaran menerbitkan buku-buku impor dari penerbit Amerika , Australia , dan Jepang untuk dipasarkan di Asia . Selanjutnya, Edhi berharap bahwa kemudahan cetak digital akan berdampak positif pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Sebab, jika penerbit buku-buku akademis di Amerika dan Eropa menerbitkan buku di Indonesia untuk pasar Indonesia , harga beli buku impor akan jauh lebih murah. “ Mahasiswa kita jadi lebih antusias membeli dan membaca buku bermutu dari luar negeri,” ungkap Edhi. “Pihak percetakan enggak mungkin bohong, semuanya tertampil di mesin cetak,” ujarnya.
Edhi pun menambahkan bahwa mencetak dengan POD mengurangi resiko kerugian atas hasil cetakan yang kurang bagus karena biasanya dengan ofset selalu ada bagian di mana tintanya kurang sempurna. “Dengan POD tidak ada buku atau kertas yang terbuang,” ungkap Edhi. Bagi pembisnis penerbitan dan percetakan, POD sangat efisien dan menguntungkan karena fasilitas ruang untuk POD lebih kecil dan tenaga kerja yang dibutuhkan pun jauh lebih sedikit dibandingkan mencetak buku dengan ofset.
(UMI KULSUM/Litbang Kompas )
Menghapus Kutukan 3.000 Eksemplar
Dahulu, setiap kali akan menerbitkan buku, penerbit harus mencetak paling tidak 3.000 eksemplar untuk menghemat ongkos cetak. Kini, dengan kemajuan teknologi print on demand, ongkos cetak bisa dihemat dan jumlah eksemplar bisa dipenuhi sesuai permintaan.
Oleh UMI KULSUM
Dengan teknologi konvensional, untuk mencetak buku dalam jumlah kecil ongkos cetak akan tetap sangat mahal karena proses percetakan ofset yang panjang menghabiskan biaya yang cukup besar. Setelah buku tercetak, persoalan yang dihadapi penerbit masih panjang, yaitu penjualan dan tentu saja gudang penyimpanan buku. Jika buku tersebut cepat terserap pasar maupun best seller , penerbit cukup mencetak ulang tanpa memikirkan penyimpanannya. Namun, kalau buku tersebut lambat penjualannya, apa lagi tidak laku, persoalan panjang membelit penerbit. Menumpuknya stok buku di gudang bisa berarti modal belum kembali atau turn over -nya lambat, ditambah lagi penerbit harus mengeluarkan biaya penyimpanan dengan resiko buku rusak, baik oleh suhu maupun serangga. Lambatnya kembali ongkos cetak hingga persoalan gudang buku adalah persoalan yang dihadapi setiap penerbit.
Namun, kini penerbit tidak perlu lagi mengalami persoalan tersebut setelah hadirnya teknologi digital yang dikenal dengan sebutan print on demand (POD), yaitu percetakan dengan teknologi digital atau cetak tanpa pelat. Ringkasnya seperti seseorang yang mempunyai data dalam bentuk digital, kemudian dicetak begitu saja. Dengan POD, orang dapat mencetak buku sedikit mungkin, meski hanya satu buku saja, sesuatu yang mustahil dilakukan dengan percetakan ofset. Dalam percetakan ofset orang membutuhkan waktu paling tidak tiga hari untuk membuat film dan pelat cetakan buku tersebut, apalagi jika ada yang salah dengan redaksionalnya, maka harus dibuat film dan pelat yang baru. Dalam sistem POD, cukup mengedit datanya saja.
Edhi Warsadhi, Direktur Percetakan Kanisius, menjelaskan bahwa dalam proses percetakan ofset ada banyak hal yang harus dilewati : mulai dari film, pelat cetakan, memilah hasil cetakan, merapikan halaman, melipat, menjilid, dan kontrol akhir. Sebaliknya, dengan POD, data dari file komputer langsung dicetak seperti cetak komputer biasa, dengan halaman yang sudah berurutan, berikut sampul bukunya.
Seandainya buku hendak dicetak 1.000 eksemplar, maka jauh lebih murah menggunakan POD. Edhi mengilustrasikan dengan buku ukuran 20 x 27 cm dengan tebal 360 halaman, jika dicetak 500 eksemplar dengan ofset, maka satu buku menghabiskan biaya sekitar Rp 35.000 dan dengan POD hanya Rp 28.000. Sebaliknya, jika mencetak 2.000 eksemplar, offset lebih murah sekitar Rp 4.000 dibandingkan POD. Jika jumlah yang dicetak di atas 3.000 eksemplar, lebih efektif menggunakan ofset biasa karena selain terlalu mahal jika menggunakan POD, prosesnya juga memakan waktu lama.
Kemudahan teknologi POD inilah yang telah digunakan oleh beberapa penerbit di Indonesia . Equinox Publishing Indonesia adalah penerbit yang diketahui turut mempelopori menerbitkan buku Indonesia dalam bahasa Inggris ini sangat menyadari pentingnya cetak cepat dalam jumlah sedikit. Itu disebabkan buku-buku yang diterbitkannya adalah buku yang penjualannya lambat tetapi isinya sangat menarik dan baik sehingga permintaan buku-buku Equinox terus berjalan meskipun sedikit. Maka, sejak dua tahun yang lalu penerbit yang memiliki kantor pusat di Singapura ini melakukan POD untuk sebagian besar buku terbitan mereka. Seperti diungkapkan oleh Manajer Editor sekaligus pemilik Equinox, Mark Hanusz, dia langsung menerbitkan bukunya dengan POD begitu teknologi ini hadir karena Mark sangat menyadari buku-buku yang diterbitkan Equinox bukanlah buku pop atau akademis yang cepat laku dipasar.
Teknologi POD juga telah dimanfaatkan oleh penerbit Kanisius, Yogyakarta , selama dua tahun terakhir, dan diikuti oleh Gramedia Percetakan yang kini telah memiliki mesin POD sendiri.
Mempermudah cetak ulang
Saat ini, menerbitkan buku-buku backlist , yaitu cetak ulang yang oplahnya lambat, tidak lagi menghantui pikiran penerbit. Siti Gretiani, Manajer Produksi Nonfiksi Gramedia Pustaka Utama (GPU), mengungkapkan bahwa POD sangat membantu penerbit untuk mencetak ulang buku-buku yang lambat penjualannya tetapi masih dicari orang. Dia mencontohkan untuk buku-buku sastra yang penjualannya di bawah seratus kopi setiap bulannya cukup dicetak ulang sebanyak 500 eksemplar dan langsung dikirim ke toko buku. “Kami tidak perlu memikirkan gudang untuk penyimpanannya,” ujar Gretiani. Maka, sejak Gramedia Percetakan memiliki mesin POD sendiri, penerbit GPU menggunakan teknologi ini untuk buku-buku backlist atau buku cetak ulang.
Mencetak dengan POD juga banyak dilakukan oleh penerbit kecil di Yogyakarta yang tidak mempu menerbitkan buku dalam jumlah besar. Selain karena biaya besar, juga resiko buku tidak laku atau lambat terserap pasar adalah persoalan serius bagi penerbit kecil. Dengan demikian, penerbit tersebut biasanya mencetak bukunya di percetakan Kanisius yang telah memiliki dua POD dan satu alat scan buku.
Kecepatan POD juga sangat membantu penerbit untuk mempromosikan bukunya, seperti yang dilakukan penerbit LKiS yang mencetak buku dengan POD di percetakan Kanisius. LKiS berencana menerbitkan buku berjudul Dosa-dosa Pemerintahan SBY yang peleuncurannya 15 Desember. Untuk itu, LKiS segera mencetak 50 eksemplar hanya untuk acara peluncuran dan diskusi buku tersebut. Setelah itu, baru akan dicetak 2.000 eksemplar dengan offset. “Karena kami mengejar waktu, kalau ofset tidak mungkin hanya cetak sedikit , mahal ongkosnya,” ujar Ahmad Fikri, Direktur LKiS. Hal yang sama juga sering dilakukan oleh GPU. Agar buku dikenal luas dan cepat, untuk mempromosikan buku tersebut biasanya dicetak sedikit saja dengan POD. “Setelah itu kami lihat reaksi pasar. Kalau responsnya bagus, kami akan cetak banyak.” Ucap Gretiani.
Cetak jarak jauh
Keunggulan lain dengan POD adalah penerbit dapat melakukan cetak jarak jauh untuk mempermudah pemasaran atau menghemat ongkos pengiriman dan mempercepat sampainya buku di lokasi pembeli. Penjualan buku Equinox hanya 60 persennya saja di Indonesia , selebihnya dipasarkan di Asia , Eropa, dan Amerika. Untuk mempromosikan buku-bukunya ke seluruh dunia, menurut Mark, pengiriman fisik buku melalui kurir akan sangat merepotkan. Mark mencontohkan jika pemesan bukunya berada di Amerika, dia cukup mengirimkan format digital bukunya melalui e-mail ke percetakan POD di North Carolina, dan dengan ongkos kirim 2 dollar AS, buku itu akan sampai ke pembeli dengan cepat. Sayangnya, jika pengiriman buku dilakukan dari Indonesia , akan menghabiskan ongkos 30 dollar AS karena proses kepabeanan yang rumit. “Jika pemesan bukunya di Italia, saya cetak bukunya di Inggris,” ucap Mark. Meski Equinox memiliki kantor pusat di Singapura, percetakan dan pengiriman buku untuk pasar Singapura tetap dilakukan dari Indonesia . Ini disebabkan jarak yang cukup dekat dengan jasa kurir yang cukup mudah antara Indonesia ke Singapura.
Sebaliknya, bagi Kanisius yang memiliki percetakan POD, justru tawaran mencetak buku impor di Indonesia sudah lama dilakukannya. Percetakan Kanisius telah menerima tawaran menerbitkan buku-buku impor dari penerbit Amerika , Australia , dan Jepang untuk dipasarkan di Asia . Selanjutnya, Edhi berharap bahwa kemudahan cetak digital akan berdampak positif pada dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Sebab, jika penerbit buku-buku akademis di Amerika dan Eropa menerbitkan buku di Indonesia untuk pasar Indonesia , harga beli buku impor akan jauh lebih murah. “ Mahasiswa kita jadi lebih antusias membeli dan membaca buku bermutu dari luar negeri,” ungkap Edhi. “Pihak percetakan enggak mungkin bohong, semuanya tertampil di mesin cetak,” ujarnya.
Edhi pun menambahkan bahwa mencetak dengan POD mengurangi resiko kerugian atas hasil cetakan yang kurang bagus karena biasanya dengan ofset selalu ada bagian di mana tintanya kurang sempurna. “Dengan POD tidak ada buku atau kertas yang terbuang,” ungkap Edhi. Bagi pembisnis penerbitan dan percetakan, POD sangat efisien dan menguntungkan karena fasilitas ruang untuk POD lebih kecil dan tenaga kerja yang dibutuhkan pun jauh lebih sedikit dibandingkan mencetak buku dengan ofset.
(UMI KULSUM/Litbang Kompas )
Sejarah Cetak Uang Kertas
Tahukah Anda, Bahwa Kertas Pertama dicetak oleh Kanisius Jogja?
Oeang Republik Indonesia atau ORI adalah mata uang pertama yang dimiliki Republik Indonesia setelah merdeka. Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga sebagai lambang utama negara merdeka.
Resmi beredar pada 30 Oktober 1946, ORI tampil dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen dengan gambar muka keris terhunus dan gambar belakang teks undang-undang. ORI ditandatangani Menteri Keuangan saat itu A.A. Maramis. Pada hari itu juga dinyatakan bahwa uang Jepang dan uang Javasche Bank tidak berlaku lagi. ORI pertama dicetak oleh Percetakan Canisius dengan desain sederhana dengan dua warna dan memakai pengaman serat halus.
Presiden Soekarno menjadi tokoh yang paling sering tampil dalam desain uang kertas ORI dan uang kertas Seri ORI II yang terbit di Jogjakarta pada 1 Januari 1947, Seri ORI III di Jogjakarta pada 26 Juli 1947, Seri ORI Baru di Jogjakarta pada 17 Agustus 1949, dan Seri Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta pada 1 Januari 1950.
Meski masa peredaran ORI cukup singkat, namun ORI telah diterima di seluruh wilayah Republik Indonesia dan ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah. Pada Mei 1946, saat suasana di Jakarta genting, maka Pemerintah RI memutuskan untuk melanjutkan pencetakan ORI di daerah pedalaman, seperti di Jogjakarta, Surakarta dan Malang.
Oeang Republik Indonesia atau ORI adalah mata uang pertama yang dimiliki Republik Indonesia setelah merdeka. Pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan uang sendiri yang tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah tapi juga sebagai lambang utama negara merdeka.
Resmi beredar pada 30 Oktober 1946, ORI tampil dalam bentuk uang kertas bernominal satu sen dengan gambar muka keris terhunus dan gambar belakang teks undang-undang. ORI ditandatangani Menteri Keuangan saat itu A.A. Maramis. Pada hari itu juga dinyatakan bahwa uang Jepang dan uang Javasche Bank tidak berlaku lagi. ORI pertama dicetak oleh Percetakan Canisius dengan desain sederhana dengan dua warna dan memakai pengaman serat halus.
Presiden Soekarno menjadi tokoh yang paling sering tampil dalam desain uang kertas ORI dan uang kertas Seri ORI II yang terbit di Jogjakarta pada 1 Januari 1947, Seri ORI III di Jogjakarta pada 26 Juli 1947, Seri ORI Baru di Jogjakarta pada 17 Agustus 1949, dan Seri Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta pada 1 Januari 1950.
Meski masa peredaran ORI cukup singkat, namun ORI telah diterima di seluruh wilayah Republik Indonesia dan ikut menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah. Pada Mei 1946, saat suasana di Jakarta genting, maka Pemerintah RI memutuskan untuk melanjutkan pencetakan ORI di daerah pedalaman, seperti di Jogjakarta, Surakarta dan Malang.
Langganan:
Postingan (Atom)